PLANET SEBUAH LAMENT
Kerusakan Lingkungan, Tragedi bagi Seluruh Alam
Pementasan 'Planet Sebuah Lament' karya Garin Nugroho saat ditampilkan perdana di Teater Jakarta,Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (16/1/2020). (IMAGE DYNAMICS)
Sukses dengan Kucumbu Tubuh Indahku dan karya sineorkestra Setan Jawa, maestro seni Indonesia Garin Nugroho kembali dengan karya terbarunya, Planet Sebuah Lament. Pertunjukan ini mengangkat keindahan budaya Indonesia Timur (Melanesia).
Pentas di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat, Jumat (17/1) dan Sabtu (18/1) ini, menjadi penampilan perdana (world premiere) para seniman sebelum karya tersebut dipentaskan di berbagai negara-diawali ASIA TOPA (Asia-Pacific Triennial of Performing Arts) di Melbourne (Australia) pada Februari 2020 dan berlanjut ke Dusseldorf (Jerman) serta Amsterdam (Belanda).
Planet Sebuah Lament menggambarkan ratapan alam sebab keserakahan manusia. Naskah yang ditulis sutradara teater dan opera kenamaan Australia, Michael Kantor, ini mengangkat isu lingkungan hidup.
Perubahan iklim menjadikan banyaknya bencana alam di dunia, tak terkecuali Indonesia. Bencana membuat manusia mencari keselamatan, termasuk menemukan pangan dan energi yang terus-menerus diperebutkan.
Dapat dikatakan, karya ini merupakan sebuah renungan lewat kolaborasi komposisi lagu, ekspresi, dan tari. Berkisah tentang suasana pascatsunami, kala itu manusia hanya disisakan sebuah telur sebagi simbol pangan dan energi. Sementara, plastik dan benda rongsokan tak terurai menjelma menjadi monster pemburu energi.
"Saya tertarik dengan lament (lagu ratapan) ini sejak tujuh tahun yang lalu. Sesungguhnya, lament menjadi ratapan sejarah purba dunia, baik ratapan hilangnya kota-kota dan rusaknya peradaban karena perang atau bencana alam," ujar Garin Nugroho seperti dalam keterangan pers yang diterima HARIAN NASIONAL, Kamis (16/1) petang.
Garin menjelaskan, perjalanan Planet Sebuah Lament dipenuhi peristiwa tidak terduga. Mulai dari tsunami Aceh, konflik berdarah di beberapa sudut negeri, kebakaran hutan di Riau, hingga peristiwa Paskah di Pulau Procida, Italia sampai Larantuka.
"Bagi saya, semua itu adalah jalan lament, kisah tentang derita kemanusiaan untuk menemukan jalan cinta dan kebangkitan yang harus dihidupkan ketika dunia begitu keras dan vulgar," kata dia, menambahkan.
Pertunjukan ini menggabungkan seni teater, film, dance, dan lagu. Mengusung perpaduan budaya dari Indonesia Timur (Melanesia) yang begitu kaya dengan tari dan lagu serta tema lingkungan. Garin mengambil referensi tablo jalan salib yang ada di Larantuka, Flores Timur. Tiap babak dinarasikan melalui paduan suara dan lagu-lagu ratapan pada transisinya.
"Sebagai konsep visual, saya memasukkan unsur empat film pendek, masing-masing 3-5 menit. Empat film pendek ini juga berfungsi sebagai ruang dan waktu, simbolisasi jalan salib dan representasi bumi atau planet. Ini merupakan sebuah lament menemukan planet keselamatan," tuturnya.
Reportase : Devy Lubis
Editor : Devy Lubis